
Penerapan Asas kesetaraan dalam kontrak kerja konstruksi
Dr. Finsensius Fitarius Mendrofa, SH.,MH.,CLA.,CTA
20 Apr 2025
Kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan pengguna jasa di Indonesia sering kali berjalan dalam situasi yang tidak seimbang. Dalam praktiknya, asas kesetaraan yang seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap perjanjian, justru kerap diabaikan. Banyak klausul dalam kontrak yang dirancang secara sepihak oleh pihak pemerintah sebagai pengguna jasa, sehingga penyedia jasa hanya menjadi pihak penerima tanpa ruang untuk melakukan negosiasi atau perubahan. Hal ini menyebabkan posisi tawar penyedia jasa menjadi lemah dan berpotensi menimbulkan kerugian di kemudian hari.
Ketentuan hukum yang mengatur kontrak kerja konstruksi di Indonesia bersumber dari KUH Perdata serta peraturan presiden tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Salah satu isu utama yang muncul adalah adanya hak bagi pengguna jasa untuk memutus kontrak secara sepihak. Ketentuan ini, meskipun dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara, pada kenyataannya menimbulkan ketidakpastian bagi penyedia jasa. Tanpa mekanisme perlindungan yang memadai, penyedia jasa berisiko mengalami kerugian finansial dan reputasi ketika kontrak diputus secara tiba-tiba.
Perlindungan hukum terhadap penyedia jasa dalam situasi pemutusan kontrak sepihak masih sangat minim. Regulasi yang ada belum secara tegas memberikan hak-hak yang setara kepada penyedia jasa, terutama dalam hal mendapatkan kompensasi atau penyelesaian sengketa yang adil. Dalam banyak kasus, penyedia jasa tidak memiliki cukup ruang untuk membela diri atau menuntut haknya ketika terjadi wanprestasi dari pihak pengguna jasa. Hal ini memperkuat kesan bahwa sistem kontrak konstruksi di Indonesia masih berpihak pada kepentingan pemerintah sebagai pengguna jasa.
Kondisi ini tentu saja berdampak pada iklim usaha jasa konstruksi secara keseluruhan. Ketidakpastian hukum dan lemahnya perlindungan terhadap penyedia jasa dapat menurunkan minat pelaku usaha untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerintah. Selain itu, risiko kerugian yang tinggi akan mendorong penyedia jasa untuk menaikkan harga penawaran atau bahkan menghindari kontrak-kontrak yang dianggap terlalu berat sebelah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat pertumbuhan sektor konstruksi dan pembangunan infrastruktur nasional.
Sudah saatnya sistem kontrak kerja konstruksi di Indonesia menempatkan asas kesetaraan sebagai prinsip utama. Penyedia jasa harus diberikan hak-hak yang setara, termasuk perlindungan hukum yang jelas jika terjadi pemutusan kontrak sepihak. Upaya perbaikan regulasi perlu dilakukan agar tercipta hubungan kerja yang adil, transparan, dan saling menguntungkan antara pemerintah dan pelaku usaha jasa konstruksi. Dengan demikian, pembangunan nasional dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat optimal bagi semua pihak yang terlibat.